A. Sejarah
filsafat
Secara
etimologi kata filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata
philo dan Sophia, philo berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan
atau hikmah, jadi philosophia dapat diartikan cinta kepada kebijaksanaan atau
cinta yang akan hikmah. Al-farabi seorang filsuf besar muslim yang juga dikenal
sebagai penafsir karya aristoleles, mengatakan bahwa falsafah atau filsafat
terambil dari bahasa yunani yang kemudian digunakan sebagai bahasa arab. Secara
luas filsafat diartikan sebagai suatu proses berpikir mendalam tentang segala
sesuatu baik yang nampak (fisika) atau yang tidak Nampak (metafisika) untuk
menngkaji secara kritis, komprehensif, dan mendalam, sampai kepada substansi
(hakekat segala sesuatu).
B. Objek
filsafat
Objek
dalam filsafat dibagi menjadi dua yaitu objek material dan objek formal. Dimana
objek material merupakan suatu objek yang dapat dipandang, disorot, dan diselidiki
dalam khasanah filsafat. Sedangkan objek formal merupakan suatu objek yang
dipandang berdasarkan sudut pandang (point of view) dengan pemikiran radikal
dari segala sesuatu.
C. Karakteristik
pemikiran filsafat
Secara
sadar, semua orang yang hidup senantiasa ditandai dengan sebuah kegiatan yang
khas yaitu berpikir. Hal ini yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan
tuhan yang lainnya. Namun setiap kegiatan berpikir manusia bukan disebut dengan
kegiatan berfilsafat. Berpikir secara filsafat buka hanya merenung atau
kontempelasi belaka yang tidak ada sangkut pautnya dengan realita, namun
berpikir yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia yang bersifat actual dan
hakiki. Adapun kegiatan berpikir secara filsafat memiliki cirri sebagai berikut
:
1. Berpikir
kritis
Kegiatan berfikir kefilsafatan harus bersifat kritis
yaitu mempertanyakan segala sesuatu, problema-problema, atau sesuatu hal yang
sedang dihadapi oleh manusia.
2. Bersifat
terdalam
Berpikir kefilsafatan harus bersifat mendalam yaitu
bukan hanya sampai pada fakta-faktanya yang bersifat khusus dan empiris belaka,
melainkan sampai pada intinya yang terdalam yaitu substansinya yang bersifat
universal. Berpikir sampai pada substansinya dengan kata lain berpikir secara
radikal, yang berarti sampai pada akarnya sesuatu gejala yang hendak
dipermasalahkan.
3. Bersifat
konseptual
Berpikir kefilsafatan harus bersifat konseptual
yaitu menyusun suatu hasil generalisasi serta abstraksi dari pengalaman tentang
hal-hal yang sifatnya khusus dan individu. Pemikiran kefilsafatan tidak cukup
disimpulkan pada beberapa bukti yang bersifat empiris, kuantitatif, dan
terbatas, namun melampaui batas-batas pengalaman yang sifatnya empiris dan
merupakan abstraksi serta generalisasi dari hal-hal yang sifatnya khusus,
individu dan konkrit. Berpikir kefilsafatan bukan sekedar berpikir menerawang,
namun juga berkaitan dengan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh manusia
kemudian dengan generalisasi dan abstraksi maka sampai kepada kesimpulan yang
bersifat konseptual.
4. Koheren
(runtut)
Berpikir kefilsafatan bukan suatu pemikiran acak,
kacau, pragmatis, namun pemikiran kefilsafatan berusaha menyusun bagan yang
konseptual dan koheren (runtut). Pemikiran koheren tidak terdapat pertentangan
antar suatu hubungan dan juga harus konsisten.
5. Bersifat
rasional
Berpikir kefilsafatan harus menyusun bagan
konseptual yang bersifat rasional, yaitu bagan yang bagian-bagian saling
berhubungan secara logis antara satu dengan yang lainnya.
6. Bersifat
menyeluruh
Suatu pemikiran kefilsafatan berusaha menyusun bagan
yang konseptual, rasional, logis dan bersifat menyeluruh. Hal ini menyatakan
bahwa pemikiran kefilsafatan bukan hanya berdasar suatu fakta yang khusus dan
individu, melainkan harus sampai pada kesimpulan yang sifatnya paling umum,
sehingga pemikiran kefilsafatan berpikir tidak ada sesuatu yang ada diluar
jangkauannya.
7. Bersifat
spekulatif (perekaan)
Perekaan yaitu pengajuan dugaan-dugaan yang masuk
akal (rasional) yang melampaui batas-batas fakta. Perekaan merupakan suatu
kegiatan akal budi manusia dengan melampaui kemampuannya dalam berimajinasi
yang disiplin menghadapi persoalan-persoalan filsafat yang menuntut pemecahan
yang bijaksana.
8. Bersifat
mendasar
Pada hal ini, manusia tidak lagi percaya begitu saja
bahwa ilmu itu benar, karena apa yang disebut dengan benar dan apa criteria
benar.
D.
Filsafat
Zaman Pra Socrates
1.
Parmenides
(Asas Tetap) (540 – 475 SM)
Parmenides dilahirkan di kota Elea kira-kira tahun
540 SM. Parmenides merupakan seorang filosof yang tegolong pada aliran Elea,
yaitu menentang konsep tuhan/dewa yang antromorphis
(disamakan dengan manusia). Ia merupakan murid dari Xenophanes, pengaruh gurunya hanyalah di
dalam penggunaan puisi di dalam menyampaikan filsafatnya. Parmenides
memiliki banyak pengaruh di bidang ontologi dan epistemologi, terutama berkenaan masalah satu atau banyak, yang
tetap atau berubah, absolut dan relatif.
Ia berpendapat bahwa segala sesuatu satu adanya, perubahan itu tidak ada.
Ajaran terpenting Parmenides adalah idea atau gagasan tentang “ada”. Menurut
Parmenides, bahwa “yang ada, itu ada”. Ini merupakan kebenaran yang tidak dapat
dipungkiri. Mengenai “yang ada” orang dapat melakukan dua pengandaian, yaitu
bahwa “yang ada” itu tidak ada, atau “yang ada” itu sekaligus ada dan tidak
ada. Pemikiran Parmenides adalah suatu pandangan yang jenius. Pikirannya
dituntaskan secara konsekuen, baginya kenyataan merupakan suatu kesatuan, tanpa
perbedaan antara segi jasmani dan rohani.
a. Pertama-tama,
"yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak
mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan
"yang ada".
b. Kedua,
"yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata
lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka
"yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada"
dapat menjadi ada.
c. Ketiga, harus
dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola
yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides,
"yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
d. Keempat, karena
"yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang
kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar "yang
ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi
tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak artinya
benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
Pemikiran
Parmenides adalah
penemu metafisika, cabang filsafat yang menyelidiki
"yang ada". Filsafat di masa selanjutnya akan bergumul dengan
masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau
rasio dicocokkan dengan data-data inderawi. Plato dan Aristoteles adalah
filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.
2.
Heracleitos
(Asas Perubahan) (540 – 475 SM)
Heracleitos adalah seorang filosof yang tergolong
dalam aliran ionia (asia minor). Heracleitos dilahirkan di kota Ephesos, ionia,
sekitar tahun 540 SM. Nama Heracleitos paling terkenal dalam sejarah karena
pendangannya yang memicu tentang debat ontological,
epistomologikal, dan deantologikal yaitu perdebatan tentang one-many (satu-banyak), permanent-change (tetap atau berubah). Heracleitos
dipandang sebagai penganut aliran no-permanency
(tidak ada yang permanen), menurutnya semua adalah perubahan (Panta Rhei) yang nantinya akan berkaitan
dengan relativitas dan skeptisisme. Akan tetapi Heracleitos berbicara tentang
logos sebagai suatu prinsip kekuatan (principle
of unity). Menurut Heracleitos, alam semesta ini selalu dalam keadaan
berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas menjadi dingin.
Hal ini berarti jika kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari
bahwa kosmos itu dinamis. Kosmos tidak pernah dalam keadaan berhenti (diam); ia
selalu bergerak dan bergerak berarti berubah.
Perubahan yang
tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Heracleitos dengan dua cara:
a. Pertama, ia
menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan
konsep mazhab Miletos yang
menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Heracleitos,
api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu,
melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa
saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama.
Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
b. Kedua, seluruh kenyataan adalah seperti
aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai
yang sama," demikian kata Heracleitos. Maksudnya di sini, air sungai
selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama
dengan yang sebelumnya.
Api dipandang sejenis dengan roh, sebab asas hidup
adalah api. Itulah sebabnya api disebut dengan logos (akal, firman, hati),
yaitu hukum yang menguasai segala sesuatu, sekaligus menguasai manusia. Segala
sesuatu terjadi sesuai logos, orang juga harus hidup sesuai dengan logos. Di
dalam logos, segala sesuatu adalah satu. Dari segala sesuatu lahirlah satu,
sedangkan yang satu lahirlah segala sesuatu. Jadi segala pertentangan adalah
pangkal sesuatu, sehingga segala hal yang bertentangan itu satu, terciptalah
perbedaan-perbedaan dan tumbuhlah keselarasan yang paling indah.
E.
Filsafat
Zaman Socrates
1.
Socrates
(470 – 399 SM)
Socrates dilahirkan di Athena pada tahun 470 SM.
Socrates adalah murid dari Anaxagoras. Socrates merupakan orang yang telah
berjasa meletakkan dasar dan membangun filsafat pengetahuan (epistemologi). Tujuan Socrates adalah
untuk meletakkan kaidah-kaidah pengetahuan di atas dasar rasio dan menguatkan
dasar keutamaan pada hati orang banyak yang berlandaskan kebenaran yang tidak
bisa diragukan lagi. Ketika Socrates bertentangan dengan kaum sofis menggunakan
metode ironi yang memiliki segi positif yaitu dalam usahanya untuk megupas
kebenaran “pengetahuan semu” orang-orang itu.
Pertanyaan yang diajukan Socrates merupakan cara
khusus untuk membuat orang berpikir, kemudian menjelaskan sesuatu kebenaran
menurut pemikirannya. Metode berpikir Socrates disebut metode induksi,
menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum yang berpangkal dari banyak
pengetahuan tentang hal yang khusus. Dengan hal ini pada akhirnya ditemukan
definisi umum.
2.
Plato
(427 – 347 SM)
Plato
lahir di Athena. Plato adalah pendiri sekolah yang disebut akademi (diskusi
yang dilakukan di serambi rumah). Plato sejak berumur 20 tahun mengikuti
pelajaran Socrates. Dalam kebanggaannya sebagai murid Socrates, setiap
karangannya yang berbentuk dialog, tanya jawab, gurunya ditempatkan sebagai
pujangga yang menuntunnya. Plato adalah Filsuf besar Yunani dan ilmuwan
spekulatif, yang memiliki aliran idealis.
Buku karyanya adalah apologia, georgias, meno, symposion, politeia, sophistes, timaios,
republic, hukum tahap dan sebagainya. Karyanya masih dibagi 5 kelompok,
yaitu karya ketika masih muda, karya pada tahap peralihan, karya yang mengenai
idea-idea, karya pada tahap kritis, dan karya pada masa tuanya. Sebagai seorang
filsuf, Plato berusaha menyelesaikan persoalan lama tentang perbedaan antara
pendapat Heracleitos yang menganggap bahwa sesuatu itu berubah-ubah tidak ada
yang tetap dengan pendapat Parmenides yang menganggap bahwa sesuatu itu adalah
tetap tidak berubah-ubah. Bahwa di dunia ini ada pengetahuan indera yang dapat
diketahui melalui pengalaman dan ada pula pengetahuan melalui budi. Yang
berubah itu disebut dengan pengalaman, adapun yang tetap dikenal dengan budi.
Mengingat ada dua pengetahuan yang tetap dan yang bermacam-macam itu, maka
dikatakan manusia itu termasuk dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman dan
dunia yang tetap yang disebut dunia idea, di dalamnya adalah idea yang sifatnya
satu macam yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Idea itu merupakan suatu
yang sungguh-sungguh ada (realitas). Plato mengemukakan ajarannya mengenai idea
absolute sebagai sumber dari segala
pengetahuan yang ada, ini terjadi melalui proses mengingat. Menurut Plato, idea absolute sama dengan idea
tertinggi. Sehingga Plato disebut sebagai aliran idealis dan tidak realis.
Menurut Plato, dunia pengalaman ini merupakan bayang-bayang
dari dunia idea. Idea bersifat langgeng, permanen, abadi, diam, sempurna dan
tidak dibatasi ruang dan waktu. Oleh karena manusia di dunia ini berasal dari
dunia idea, maka dari tujuannya di dunia ini tidak terus-menerus berada di
dunia bayang-bayang saja, melainkan harus ia kembali ke asal mulanya untuk
selama-lamanya memandangi idea-idea itu dengan idea tertinggi atau idea
kebaikan.
3.
Aristoteles
(384 – 322 SM)
Aristoteles lahir di Stageira, Yunani Utara. Ketika
umur 18 tahun dikirim ke Athena untuk belajar ke Plato pada sekolah Akademi.
Pada akhirnya Aristoteles mendirikan sekolah yang diberi nama Peripatacici
bermakna berjalan-jalan. Sistem
pengajaran yang diberikan sambil jalan-jalan di taman. Aristoteles disebut
dengan aliran realis, karena
mendasarkan pemikirannya pada pengalaman kemudian memberikan uraian mendasar
mengenai data-data pengalaman. Karya aristoteles dapat dibagi atas 8 bagian,
mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik
dan ekonomi, retorika, dan poetika. Ia juga
mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal ini disebutnya
dengan nama analytika, yaitu ilmu
penalaran yang berpangkal pada premis yang benar, dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal
yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu
tentang penalaran (Logika) itu ditulis dalam 6 (enam) naskah yang
masing-masingnya berjudul; Categories, On
Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical
Refitations. Logika sebagai ajaran tentang berpikir secara ilmiah,
yang membicarakan tentang bentuk-bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum
yang menguasai pikiran. Jalan pikiran itu disebut syllogismus (sillogisme), yaitu putusan dua yang tersusun demikian
rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk menggunakan sillogisme,
harus diketahui benar-benar sifat putusan, tiap putusan terdiri dari
pengertian. Ketika pengertian satu dihubungkan dengan pengertian lain,
muncullah putusan. Jika terdapat persesuaian antara pengertian-pengertian yang
merupakan subjek dan predikat dalam putusan itu, maka putusan itu positif dan
jika tidak terjadi persesuaian, maka putusan itu negatif. Untuk itu perlu
diselidiki pengertiannya, menurut Aristoteles ada beberapa macam pengertian
antara lain : kuantitas, kualitas, hubungan (relasi), waktu, lingkungan,
keadaan, tempat, aktif, dan pasif. Dalam filsafat Plato yang menjadi pangkal
dan yang sungguh-sungguh ada adalah dunia ide yang bersifat umum, sedangkan
menurut Aristoteles yang sungguh-sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan
yang khusus, satu persatu.
Selanjutnya Aristoteles menjelaskan unsur dasar
bermacam-macam itu yang disebut Hyle
(materi), sedang unsur kesatuan disebut morphe
(bentuk). Tiap benda yang konkrit itu terdiri dari hyle dan morphe, jadi hyle dan morphe merupakan satu kesatuan, tidak ada hyle tanpa morphe.
Hubungan hyle dan morphe sebagai hubungan kedua unsur yang
merupakan kesatuan itu sebagai potensi dan aktus; dinamis dan energia. Dalam
hal konkrit hyle merupakan potensi
dan morphe merupakan aktus. Hyle
dapat mengalami perubahan, dimana perubahan itu merupakan peralihan potensi ke
aktus selama dia potensi. Aristoteles membagi pengetahuan menjadi dua macam,
yaitu pengetahuan indera dan pengetahuan budi. Pengetahuan indera mencapai yang
konkrit dan pengetahuan budi mencapai inti yang bersifat umum. Objek yang
diketahui bersifat konkrit dapat ditangkap oleh indera, pengetahuan indera yang
satu persatu, bermacam-macam dan tidak sama, yang beraneka ragam tidak
dihiraukan, yang cukup dipandang yang sama saja dalam bermacam-macam itu.
Pengetahuan yang satu dalam macamnya, umum dan tetap dinamakan sebagai idea
atau pengertian. Semua hal yang memiliki sifat-sifat sama yang terdapat pada
hal-hal konkrit, maka mutlaklah ia, tetap dan tidak berubah
Pernyataan tersebut sekaligus sebagai penyelesaian
pertentangan antara filsafat Parmenides dan Heracleitos; antara “ada” dan
“menjadi”.
F.
Filsafat
Zaman Modern
1.
Zaman
Resainance
a.
Nicolas
Copernicus (1473 – 1543)
"Nicolaus Copernicus
(lahir 19 Februari 1473 - meninggal 24 Mei 1543) adalah seorang astronom
Polandia asal Jerman, yang dikenang untuk menyediakan formulasi modern pertama
teori heliosentris (Sun-centered) dari
tata surya di De Revolutionobus Orbium Coelestium.
Copernicus bekerja sebagai kanon gereja, gubernur, administrator,
matematikawan, ekonom, ahli hukum, dokter dan astrolog tengah semua tanggung
jawabnya, ia memperlakukan astronomi sebagai hobi”.
1) Dia bukan ahli matematika dalam arti keahlian
Kepler. Dia hanya menggunakan angka Ptolemy tetapi berubah poin fokus.
2) Dia melekat aturan atau prinsip gerak
melingkar seragam dan menganggap hal itu sebagai dasar dari mekanika langit.
3) Gerak melingkar disebabkan oleh benda
melingkar, ia berpikir? Badan berputar karena mereka
bulat. Aristoteles berpikir begitu juga, tapi Aristoteles tetap yakin
bahwa salah satu membutuhkan pusat fisik untuk mencapai hasil ini.
4) Aristoteles percaya kecepatan setiap planet
adalah konstan dengan setiap planet tetapi jarak diperhitungkan dalam periode
revolusi lambat mengelilingi bumi. "Aristoteles menyatakan hal ini
di De Coelo, Lib II, topi 10, dan Ptolemy setuju".
Copernicus dalam perjanjian sempurna dengan sistem ini mengatakan Kelper,
bagaimanapun, menanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit yang lain tidak ingin
menghadapi, atau fakta mereka tidak berpikir untuk bertanya. Oleh karena
itu konsep astronomi diperlukan berubah. "... Sama (orbital)
kecepatan, tidak setuju dengan fakta-fakta." "Periode revolusi
tidak berbanding lurus dengan jarak".
5) "Copernicus mengatakan, jalan-tengah
antara kinematika dan dinamika murni, dan itulah sebabnya (Ptolemy) ia
tidak perlu untuk menempatkan sesuatu apapun di pusat benda langit nya atau
bola, bahkan tidak matahari".
"...
Copernicus menempatkan Matahari di pusat alam semesta, ia tidak menempatkannya
di tengah-tengah gerakan langit : tidak pusat bola bumi atau bahwa lingkup
planet ditempatkan di matahari,
tetapi hanya dekat itu, dan
gerakan planet disebut tidak matahari, tapi pusat bola bumi-eksentrik. Sehubungan dengan matahari
pusat lingkup terestrial tentu berkisar, matahari itu ditempatkan pada epicycle kecil yang deferent sebagai sun untuk pusat, namun gerakannya sangat
lambat-yang epicycles membuat satu
revolusi dalam tahun 3434 dan relatif kecil dalam 53.000 tahun, bahwa untuk
tujuan praktis, tidak masuk ke dalam perhitungan sebagai hasilnya kita miliki.
"Copernicus kosmologi menempatkan matahari bergerak tidak di pusat
alam semesta, tapi dekat ke pusat, dan juga terlibat memberikan gerakan yang
berbeda beberapa Bumi. Masalah yang Copernicus dihadapi adalah bahwa ia
menganggap semua gerak adalah melingkar sehingga, seperti Ptolemy, dipaksa
menggunakan epicycles. Itu akibatnya
dianggap tidak masuk akal oleh kebanyakan orang se-zamannya, dan oleh para
astronom dan filsuf yang paling alami sampai pertengahan abad ketujuh belas.
Dalam Pendahuluan dimaksudkan De Revolutionibus Orbium Coelestium Copernicus
menunjukkan bahwa sepenuhnya menyadari kritik bahwa menjadikan karyanya akan
menarik.
2.
Zaman
Aufklarung (Zaman Pencerahan)
a.
Rene
Descartes (1596 – 1650) (Rasionalisme)
Rene
Desrates lahir di La Haye, Perancis tahun 1596 dan meninggal 1650. Rene Descrates
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Descrates menyusun sebuah argumentasi
yaitu Cogito orgo sum. Descrates memulai filsafat dari metode, metode keraguan
digunakan untuk menuju kepastian. Dalam metode tersebut, berjalan satu deduksi
yang tegas, karena telah menemukan idea yang distinct. Seluruh proses
penyimpulan terlepas dari data empiris, dan keseluruhannya merupakan proses
rasional. Sehingga dalam filsafatnya didasarkan pada akal sebagai basis
terpercaya.
b.
D.
Hume (1711 – 1776) (Empirisme)
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia
pada 26 April 1711. D. Hume seorang penganut empirisme yang konsisten. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi pada
hukum. Selama tiga tahun studi hukum membangun pandangan filsafatnya. Pada
musim gugur 1729, dia mengalami gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun karena dia mengalami perasaan puas pertama
kali dia membantai raksasa segala ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi
padahal umurnya masih relatif muda. Karena kejadian ini dia memutuskan mundur
dari dunia filsafat, akan tetapi kemudian justru dia mengambil keputusan untuk
pergi ke Prancis Pada usia 23 tahun, ke La Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates
dulu untuk upaya penyembuhan dari penyakitnya. Di sana dia menyelesaikan buku
pertamanya yaang hampir selesai pada tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26. Hume memiliki
harapan yang tinggi pada karyanya, tetapi penerbitannya tidak banyak mendapat
perhatian. Meskipun patah
semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742 saat di
Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral
and Political. Dalam
karyanya yang terbesar memperkenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju
subjek-subjek moral dengan mengupas panjang lebar mengenai emosi manusia dan prinsip-prinsip
moral. Secara garis besar filsafat hume merupakan reaksi yang kontradiktif
terhadap tiga prinsip dasar, yaitu melawan ideinnatea
yang dipakai sebagai landasan ontologism
bagi kaum rasionalis dalam memahami
dunia sebagai satu kesatuan dunia interelasi; tentang masalah teologi khususnya
mengenai paham deisme; melawan empirisme
khususnya empirisme locke dan
Berkeley. Hanya ada satu metode yang tepat, yaitu metode eksperimental seperti
yang telah sukses dalam ilmu-ilmu alam. Hume berpendapat bahwa keseluruhan isi
dari pikiran berasal dari pengalaman dan membagi dalam dua persepsi, yaitu
antara “kesan” dan “ide”.
c.
Immanuel
Kant (1724 – 1804) (Kantianisme)
Immanuel Kant lahir di Königsberg, Prusia Timur pada
tahun 1724. Immanuel Kant berhasil menghentikan sufisme modern untuk
menundukkan akan dan iman pada kedudukan masing-masing. Immanuel Kant mencoba
merumuskan kebenaran ilmu pengetahuan melalui dua paham yang bertentangan,
yaitu rasionalisme dan empirisme. Beliau berpendapat bahwa
pengetahuan adalah hasil kerjasama dua unsur, yaitu pengalaman dan kearifan
akal budi. Pengalaman inderawi adalah unsur a
posteriori (yang akan datang) dan akal budi merupakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).
Kedua aliran ini hanya mengakui salah satu unsur sebagai sumber pengetahuan,
sehingga menjadi tidak seimbang. Ketisakseimbangan ini diselesaikan melalui
tiga macam kebenaran, yaitu kebenaran akal budi (verstand), kebenaran rasio (vernunft),
dan kebenaran inderawi. Kemudian dari akal budi dibedakan menjadi akal budi
teoritis (membentuk pengetahuan intelek) dan akal budi praktis (pengetahuan
tentang perilaku moral, dan sumber perasaan serta intuisi religius). Kant
mencoba menempatkan moral sebagai problem utama dalam filsafat. Bila sains dan
akal tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama, maka jalan selanjutnya
adalah moral. Hal ini tertuang dalam karyanya yang berjudul “kritik der praktischen vernunft” tentang
moral adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu prinsip yang a priori, suatu realitas yang amat
mengherankan dalam diri manusia, perasaan yang tidak dapat dibedakan penentu
benar dan salah. Kata hati adalah categorical
imperative (perintah tanpa syarat yang ada di dalam kesadaran kita, yang
pada akhirnya moral yang kita miliki sifatnya menjadi absolute).
d.
Auguste
Comte (1798 – 1857)
Auguste Comte dilahirkan di
Montpellier, Prancis tahun 1798. Auguste Comte merupakan
pelopor utama Positivisme, seorang
filsuf perancis yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan sains dan teknologi
modern. Positivism merupakan bentuk
baru dari aliran realisme dan empirisme, yang menjelaskan bahwa
kehidupan dunia luar persis seperti tergambar dalam pemikiran. Tahap positif,
ilmulah yang menentukan segala kebenaran dengan metode experiment dan
observasi. Menurut Comte, manusia berkembang dalam tiga tahap (the law of three stages), yaitu tahap
teologi, tahap metafisika, dan tahap positif.
Hukum tiga
tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan ajaran
dialektika yang memandang perkembangan sebagai sesuatu gerak linear dan
"tertutup". Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran
atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara
utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun
cenderung dilepaskan secara total dari keseluruhan realitas kemanusiaan yang
merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan
pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk memenggal-menggal dan mengambil
sebagian saja dari realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi
obyek atau dasar ontologis dalam mengembangkan ilmunya. Ontologi materialistik
ini telah melahirkan pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta
mencetakkan orientasi kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan
manusia modern.
Comte,
sejalan dengan hukum perkembangan dimaksud, menciptakan penggolongan
pengetahuan dan ilmu. Ia menggambarkan bagaimana ilmu dan pengetahuan itu
berkembang atas dasar gejala-gejala yang dihadapi baik pada tingkat yang
sederhana sampai yang paling kompleks. Hal itu dilakukan atas dasar sejarah
perkembangan ilmu yang dipahaminya. Akhirnya, tersusunlah enam jenis ilmu
pengetahuan dasar dengan menempatkan fisika sosial atau sosiologi dengan
statistikanya sebagai ilmu yang paling tinggi.
Auguste Comte,
mengembangkan metode keilmuannya yang khas dengan memadukan dalamnya unsur
observasi, eksperimentasi, dan metode sejarah. Ia dalam hal ini, telah berhasil
membangun suatu paham keilmuan baru yang memadukan “Rasionalisme” a l a Descartes dengan “Empirisme” Francis Bacon. Hal ini sejalan dengan maksud pokok
Auguste Comte, yaitu bahwa ilmu harus selalu dikaitkan dengan pendiriannya
dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis. Akibatnya, makna keilmuan selalu
bersifat "pragmatis” dan menjadi
suatu pilihan sebagai alat (instrumen). Comte berusaha mengkategorikan ilmu
dalam enam kategori kegunaan yang sifatnya praktis, yaitu:
1) Comte menempatkan ilmu pasti
(matematika) sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan. Comte dengan begitu yakin
menyatakan bahwa hanya ilmu pastilah yang merupakan satu-satunya ilmu yang
mempunyai kedudukan obyektif. Hal ini disebabkan ilmu pasti memiliki sifat yang
tetap, terbatas pada akal, dan pasti melalui apa yang dilakukan dalam penyajian
"kalkulus"-nya. Menurutnya, melalui metode-metode ilmu pasti, orang
akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu ilmu
pengetahuan dalam tingkatnya yang "tepat dan sederhana" namun
obyektif (terukur secara pasti).
2) Ilmu perbintangan (astronomi) yang
berfungsi menyusun hukum-hukum ilmu pasti tersebut di atas dalam hubungan
dengan gejala benda-benda langit. Semua itu berhubungan dengan cara-cara
menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda-benda langit
seperti bintang, bumi, bulan, atau planet-planet lain yang semuanya berhubungan
dengan observasi langsung si subyek.
3) Ilmu alam (fisika). Menurutnya,
melalui observasi dan eksperimen, ilmu-ilmu fisika atau ilmu alam menunjukkan
hubungan-hubungan yang mengatur sifat umum benda yang dikaitkan dengan masa.
Hubungan-hubungan tersebut berada dalam keadaan yang memungkinkan molekulnya
tidak berobah sebagai suatu himpunan. Selanjutnya, Comte juga berusaha dengan
hukum ilmu fisika ini untuk meramalkan secara tepat semua gejala yang dapat
ditunjukkan oleh suatu benda yang dalam keadaan tertentu. Kegunaan paktis ilmu
alam atau fisika ini, karena sifat keteramalannya atas realitas obyeknya yang
bersifat tetap dan tidak berubah atau bergonta-ganti.
4) Ilmu kimia (chemistry) yang berfungsi untuk membuktikan adanya keterkaitan yang
luas di antara ilmu-ilmu seperi dalam ilmu hayat (biologi) dan bahkan dengan
sosiologi. Hubungan ini tentu lebih luas dari ilmu alam. Metode yang digunakan
dalam bidang ini adalah observasi dan ekperimentasi.
5) Ilmu hayat (fisiologi atau biologi).
Jelasnya, pada tingkat ini, ilmu telah berhadapan secara langsung dengan
gejala-gejala kehidupan sebagai unsur yang lebih kompleks. Umumnya,
perkembangan ilmu pada tahap ini disertai dengan adanya perubahan, karena belum
mencapai tahap yang tetap sebagai ilmu positif.
6) Ilmu tertinggi dalam ilmu positif
yaitu ilmu fisika sosial (sosiologi). Fisika sosial berfungsi untuk
menghadapkan ilmu pada hakikat kehidupan yang lebih kompleks, lebih konkrit,
dan lebih khusus dalam ikatan dengan suatu kelompok manusia. Menurut Comte,
fisika sosial atau sosiologi merupakan suatu bidang yang meliputi segi-segi
yang statis maupun dinamis mengenai masyarakat. Justru itulah, Comte
menunjukkan bahwa metode yang terbaik untuk ini adalah observasi. Alasannya,
setiap pengetahuan selalu meminta kesaksian dan pembuktian yang jelas dan
langsung. Berdasarkan penggolongan di atas, Comte hendak menegaskan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan tidak akan menuju ke alam teori murni tetapi pragmatis dalam
arti positif, yaitu: nyata, bermanfaat, pasti, tepat, dan teramati. Windelband,
di kemudian hari mengikuti pola pembagian ilmu dimaksud dengan menunjukkan
adanya dua golongan ilmu, yaitu; ilmu-ilmu alam sebagai nomotetik dan ilmu-ilmu
kebudayaan sebagai idiografik. Windelband, untuk itu, mendukung pandangan bahwa
ada dua tipe dasariah ilmu dengan suatu perbedaan jenis yang nyata di antara
keduanya.
Kultur
keilmuan positif yang dikembangkan Auguste Comte, mempunyai peranan yang sangat
besar dalam perkembangan keilmuan modern. Nampaknya, solah-olah terdapat
semacam jaminan bahwa "hanya ilmu positif (sains)-lah yang pasti dan benar
satu-satunya". Ilmu positif telah dibuat menjadi pemegang kedaulatan
mutlak atas kepastian dan kebenaran. Positivisme
awal yang menekankan pada segi-segi rasional-ilmiah, baik pada tataran epistemologi maupun ontologi, akhirnya,
direduksikan pada ilmu positif yang dianggap mampu menerangkan kenyataan secara
lengkap dan sempurna. Reduksi dimaksud tidak hanya dalam ide atau pemikiran,
tetapi menembus sampai ke dalam inti kehidupan manusia dan alam secara total.
Auguste Comte,
telah mereduksikan bukan hanya ilmu, tetapi justru epistemologi itu sendiri ke dalam tuntutan-tuntutan “Positivisme”-nya yang memiliki egoime
sektoral di dalam ilmu-ilmu. Paham Positivisme
keilmuan hanya mau dan mampu melihat manusia sebagai realitas bendawi, tanpa
mampu menjangkau segi-segi subyektivitas manusia dalam seluruh lingkup
pengalaman, kedudukan, atau penyikapannya yang luas, utuh, dan menyeluruh.
Pandangan Positivisme Comte yang
begitu kuat terhadap masalah-masalah sosial, membentuk pandangan epistemologi yang bercorak pragmatis.
Akibatnya, epistemologi Positivisme ini hampir tidak mampu lagi
untuk menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte lupa bahwa segi-segi
sosio-historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk melahirkan pandangan,
gagasan, serta cara berpikir, dan aspirasi-aspirasi baru yang dinamis. Semua
itu bersifat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengetahuan dan
kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai kemungkinan yang serba baru
dan berubah-ubah.
Comte
justru telah menyingkirkan realitas sosio-historis, dan bahkan realitas
sosiologis itu sendiri di dalam teorinya. Comte lupa bahwa sebenarnya sosiologi
yang dicita-citakannya tidak memiliki hubungan dengan apa-apa, baik dengan
tradisi ontologi maupun ilmu-ilmu alam. Comte lupa bahwa Sosiologi adalah
bidang ilmu-ilmu historis-hermeneutis
yang menyelidiki bidang intersubyektif yang berubah-ubah. Sosiologi, karenanya,
harus berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam pergaulan antarmanusia
dalam masyarakat. Perhatian Sosiologi bukan pada fakta mati melainkan pendapat
orang atas interaksi mereka. Hal yang mau dicapai dalam setiap interaksi adalah
pemahaman timbal-balik.