Selasa, 13 November 2012

Refleksi 30 Oktober 2012


Abstraksi berdasar sifat-sifatnya

Berfilsafat berarti berpikir kritis terhadap yang ada dan yang mungkin ada. Berpikir kritis adalah memunculkan yang mungkin ada menjadi ada. Hal ini adalah sesuatu yang membutuhkan olah pikir yang logis, mampu mengolah thesis, antithesis dan sintetis. Sehingga seorang yang berfilsafat mampu memikirkan dari dimensi satu ke dimensi yang lain (dimensi yang berada di atasnya) menjadi sesuatu yang ada. Orang yang berpikir filsafat adalah bisa dikatakan sebagai filsuf, seorang filsuf berpikir tidak terlepas dari pemikiran yang ada dan yang mungkin ada. Mereka menjadi seorang transenden, baik kepada para muridnya dan dirinya sendiri. Karena dirinya memiliki kuasa dan berkuasa terhadap para bawahannya atau dimensi yang berada di bawahnya. Transenden merupakan sifat yang dimiliki dewa yang mampu membedakan dimensi yang di atasnya. Namun, setiap manusia pun menjadi trasnsenden terhadap apa yang dimilikinya, misal mereka transenden terhadap para bajunya, atau transenden terhadap apapun yang ada pada dirinya.
Pada zaman dahulu, pikiran para filsuf tidak mengenal nama-nama materiil sekarang sesuai pada ruang dan waktu. Aristoteles, plato, socrates, dkk tidak mengenal nama sarung, jilbab, dan kebaya. Karena nama materiil memiliki sifat yang luas, sifat warna, sifat corak, sifat bentuk, sifat bahan dan sifat harga. Kesemuanya itu tidak dipahami oleh para filsuf zaman dahulu. Setiap benda atau manusia memiliki sifat yang ada dan yang mungkin ada. Ketika seseorang dikatakan memiliki sifat marah, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan. Karena terkadang orang tersebut bersifat manis, lembut dan penuh kasih sayang. Untuk itu sifat tersebut perlu dirasionalisasikan.
Berdasarkan sifat-sifat yang memiliki arti banyak terhadap yang ada dan yang mungkin ada sehingga perlu dilakukan abstraksi. Dengan abstraksi, membandingkan sifat-sifat lainnya dengan melakukan uji normatif, dengan demikian diperoleh arti yang jelas dan sesuai pada ruang dan waktu. Arti yang begitu luas harus didasarkan pada fakta, analitik dan sintetik. Sehingga pengartian dari fakta adalah berdasarkan kenyataan, analitik adalah memikirkan saja dan tidak perlu melakukannya, sintetik adalah melakukan terlebih dahulu kemudian memikirkannya. Sebagai contoh berita, normatif yang sesuai dengan berita adalah yang ada dan bersifat analitik. Karena setiap berita tidak perlu bersifat sintetik, karena bisa membahayakan. Berdasarkan sifat yang demikian sifat pengetahuan a posteriori berada pada unsure ini, hal ini dimiliki oleh pada anak kecil. Sedangkan analitik, sesuatu tersebut hanya cukup dipikirkan. Hal demikian bersifat pengetahuan a priori dan dimiliki oleh orang dewasa.

Pertanyaan :
1.        Fakta, sintetik dan analitik, Apakah dalam sebuah kehidupan ketiga unsure dalam menghadapi sebuah pemasalahan dapat digunakan semuanya dalam waktu bersamaan atau dilakukan secara sequensial ?
2.        Bagaimana memunculkan potensi yang dimiliki oleh seseorang agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain ? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar