Abstraksi berdasar sifat-sifatnya
Berfilsafat
berarti berpikir kritis terhadap yang ada dan yang mungkin ada. Berpikir kritis
adalah memunculkan yang mungkin ada menjadi ada. Hal ini adalah sesuatu yang
membutuhkan olah pikir yang logis, mampu mengolah thesis, antithesis dan
sintetis. Sehingga seorang yang berfilsafat mampu memikirkan dari dimensi satu
ke dimensi yang lain (dimensi yang berada di atasnya) menjadi sesuatu yang ada.
Orang yang berpikir filsafat adalah bisa dikatakan sebagai filsuf, seorang
filsuf berpikir tidak terlepas dari pemikiran yang ada dan yang mungkin ada.
Mereka menjadi seorang transenden, baik kepada para muridnya dan dirinya
sendiri. Karena dirinya memiliki kuasa dan berkuasa terhadap para bawahannya
atau dimensi yang berada di bawahnya. Transenden merupakan sifat yang dimiliki
dewa yang mampu membedakan dimensi yang di atasnya. Namun, setiap manusia pun
menjadi trasnsenden terhadap apa yang dimilikinya, misal mereka transenden
terhadap para bajunya, atau transenden terhadap apapun yang ada pada dirinya.
Pada zaman
dahulu, pikiran para filsuf tidak mengenal nama-nama materiil sekarang sesuai
pada ruang dan waktu. Aristoteles, plato, socrates, dkk tidak mengenal nama
sarung, jilbab, dan kebaya. Karena nama materiil memiliki sifat yang luas,
sifat warna, sifat corak, sifat bentuk, sifat bahan dan sifat harga. Kesemuanya
itu tidak dipahami oleh para filsuf zaman dahulu. Setiap benda atau manusia
memiliki sifat yang ada dan yang mungkin ada. Ketika seseorang dikatakan
memiliki sifat marah, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan.
Karena terkadang orang tersebut bersifat manis, lembut dan penuh kasih sayang.
Untuk itu sifat tersebut perlu dirasionalisasikan.
Berdasarkan
sifat-sifat yang memiliki arti banyak terhadap yang ada dan yang mungkin ada
sehingga perlu dilakukan abstraksi. Dengan abstraksi, membandingkan sifat-sifat
lainnya dengan melakukan uji normatif, dengan demikian diperoleh arti yang
jelas dan sesuai pada ruang dan waktu. Arti yang begitu luas harus didasarkan
pada fakta, analitik dan sintetik. Sehingga pengartian dari fakta adalah
berdasarkan kenyataan, analitik adalah memikirkan saja dan tidak perlu
melakukannya, sintetik adalah melakukan terlebih dahulu kemudian memikirkannya.
Sebagai contoh berita, normatif yang sesuai dengan berita adalah yang ada dan
bersifat analitik. Karena setiap berita tidak perlu bersifat sintetik, karena
bisa membahayakan. Berdasarkan sifat yang demikian sifat pengetahuan a
posteriori berada pada unsure ini, hal ini dimiliki oleh pada anak kecil.
Sedangkan analitik, sesuatu tersebut hanya cukup dipikirkan. Hal demikian
bersifat pengetahuan a priori dan dimiliki oleh orang dewasa.
Pertanyaan :
1.
Fakta,
sintetik dan analitik, Apakah dalam sebuah kehidupan ketiga unsure dalam
menghadapi sebuah pemasalahan dapat digunakan semuanya dalam waktu bersamaan
atau dilakukan secara sequensial ?
2.
Bagaimana
memunculkan potensi yang dimiliki oleh seseorang agar dapat dimanfaatkan oleh
orang lain ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar