Sabtu, 12 Januari 2013

refleksi tanggal 8 januari 2013


Intuisi dalam Pribadi Manusia akan Pengetahuan

Sebuah referensi yang digunakan dalam karya ilmiah adalah merujuk kepada orang (pengarang) dan karyanya (makalah) secara ilmiah. Terkadang orang merujuk referensi kepada websait, padahal websait itu bukanlah sebuah referensi yang patut untuk digunakan. Websait itu bukan referensi, tetapi tempat beradanya referensi yang dubuat oleh seseorang. Sebuah websait sama halnya dengan sebuah meja, lemari, locker dan tas, disana sesuatu benda di letakkan tanpa diketahui siapa pengarang atau jenis karya ilmiahnya. Serta elegi yang ada dalam pembelajaran filsafat itu tidak juga dapat digunakan sebagai sebuah referensi, karena tidak memuat jenis karya ilmiah dari sang penulis. Elegi itu dibuat dengan tujuan untuk pembelajaran filsafat secara intuitif melalui intuisi yang dipahami. Akan tetapi sebuah elegi bisa juga menjadi referensi jika dia memuat sebuah karya ilmiah dari seseorang. Karya ilmiah itu bisa berupa buku yang sudah di SN/SNB, jurnal yang telah terakreditasi, atau juga berupa makalah yang telah dipresentasikan di seminar nasional/internasional, dan selain hal yang disebutkan itu bukanlah sebuah karya ilmiah.
Kategori penulis ilmiah adalah S3 atau professor untuk lingkup luar negeri, namun untuk kancah lokal bisa seperti skripsi, tesis, dan desertasi. Meskipun seorang telah memiliki gelar professor atau doktor, karya yang ditulisnya bisa juga untuk diragukan kebenarannya jika tidak sesuai dengan gelar, jurusan atau keahlian yang ditekuni. Cara untuk meragukan dengan mencari karya-karya ilmiahnya berupakualitas tulisan, kualitas dari penulisnya secara formal dan substansif. Secara formal dapat diartikan jika karya ilmiahnya yang ditulis sesuai dengan jurusan yang menunjang dan secara substansif dapat diartikan jika sesuai dengan karya-karya yang menunjang. Seperti contoh prof. Marsigit, beliau memiliki justification untuk dua hal yaitu dalam pembelajaran matematika dan filsafat. Karena untuk S2, beliau mengambil jurusan pada pendidikan metematika sehingga ketika beliau menulis buku tentang pembelajaran matematika, maka sudah sepantasnya beliau untuk menulis atau membuat karya ilmiah. Serta S3 nya beliau mengambil filsafat maka betullah dia jika menulis buku atau karya yang mengenai hal filsafat dan layak untuk memperoleh kebenaran atau diyakini oleh para pembaca/pemakai karyanya.
Prof. Pernah menjalin kerjasama dengan universitas Maillbourne, Australia yaitu ketika beliau menjadi anggota WCU (World Class University). Beliau memiliki semangat yang membara, tulus dan ikhlas, namun itu semua tidak cukup untuk menjalin kerjasama dengan mereka. Faktor terpenting dan faktor lain adalah dari segi ekonomi, karena perbedaan segi ekonomi sangat mencolok dengan mereka yang dapat terlihat dari aplikasi gaji di Indonesia selama 5 bulan yang hanya mampu untuk mencukupi kehidupan di Australia selama satu minggu dan itu meliputi untuk semua instansi. Itulah kesenjangan kita dengan luar negeri. Kerjasama yang dilakukan oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan Maillbourne dalam bentuk join research, namun meskipun Indonesia memiliki banyak dosen dengan lulusan S2 ataupun S3 baik dari dalam negeri ataupun luar negeri kerjasama tidak serta merta langsung untuk dilakukan. Dalam melaksanakan kerjasama itu, terlebih dahulu dosen-dosen kita harus kuliah dulu dengan universitas yang diajak kerjasama. Mereka harus kuliah dulu di universitas yang diajak kerjasama, kemudian ketika melakukan penelitian akan dipandu oleh dosen yang bersangkutan di universitas itu. Dengan kondisi demikian para dosen yang kuliah itu akan memiliki chemistry dan pada akhirnya akan mudah untuk melakukan penelitian join research. Hasil dari penelitian itu dapat dimasukkan dalam jurnal, nama dosen pembimbing disebutkan dalam jurnal itu. Chemistry yang timbul akan mempermudah melakukan penelitian-penelitian berikutnya.
Melakukan fotokopi itu tidak seluruh dari isi buku tersebut, melainkan memerlukan adab atau tata cara dalam mengkopi. Mengkopi secara keseluruhan dalam buku, berarti melakukan plagiatisme dan merugikan hasil karya orang lain. Dalam mengkopi buku hanya boleh secukupnya, satu chapter yang diperlukan saja jika itu menerapkan adab berfotokopi.
Memanfaatkan buku harus dengan melihat pengarang, hasil karya yang dibuat. Dengan demikian cara menilai buku adalah melihat penulis, akuntabel atau tidak penulisnya, memiliki latar belakang yang menunjang dalam menulis sebuah buku atau tidak, serta di dukung dengan penelitian. Negara Indonesia banyak penulis-penulis yang oportunitif yaitu menjadi seorang penulis buku, yang disebabkan susah dalam mencari pekerjaan dan tidak diterima dalam melamar pekerjaan.
Manfaat dari intuisi adalah mampu menjelaskan sesuatu tanpa harus mengartikan sesuatu itu secara mendetail. Sebagai contoh kapan kita mampu membedakan laki-laki dan perempuan, kalau waktu sekolah seorang bapak guru menjelaskan atau mendefinisikan laki-laki adalah manusia yang memiliki kumis dan seorang perempuan adalah jika ia memiliki rambut yang panjang. Namun definisi itu salah dan tidak tepat serta kacau balau. Bagaimana jika kita melihat seseorang perempuan yang memiliki rambut pendek, apakah ia disebut dengan laki-laki. Kan definisi yang di atas menjadi kurang tepat dan itulah intuisi. Proses awalnya pemahaman secara intuitif dalam diri hingga memiliki pemahaman determin dari diri yang kokoh hingga mampu membedakan laki-laki dan perempuan secara benar. Kategori akan turun menjadi regulasi, dalam bahasa pemerintahan regulasi berarti peraturan. Intuisi tumbuh dan mengkonstruk dalam diri di awali dengan mulainya kita mengikuti pendidikan. Intuisi itu jarang dipahami oleh sebagian besar pengajar, mereka hanya mengajar sebatas yang ia mampu. Sehingga kegiatan yang dilakukan, dia sendiri tidak mengetahui atau mengerti yang ia lakukan dan hanya sebatas seperti air yang mengalir, yang akan jatuh pada tempat yang lebih rendah.
Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda, karena kita berada di daerah jawa dengan budaya jawa. Kadang orang itu melakukan kegiatan, yang tanpa mereka sadari karena ada fatamorgana oleh ritual yang lain, sebagai contoh pada orang yang pamitan haji. Pada dasarnya tujuan dari acara itu adalah untuk meminta maaf kepada handai tolanda. Dahulu meminta maaf itu harus mendatangi rumah satu persatu, karena kurang efektif maka si pemilik acara itu mengadakan acara pengajian. Dengan begitu acara yang tadinya harus berkeliling kampong untuk meminta maaf, mereka hanya cukup dirumah dengan mengundang para masyarakat untuk datang menghadiri pengajian yang diadakan. Sehingga masyarakat telah terfatamorgana oleh acara pengajian itu. Namun masyarakat yang tahu permasalahan atau agenda dalam pamitan haji itu, terkadang mereka malah tidak menghadiri acara itu dengan alas an jika mereka menginginkan maaf harusnya datang ke hadapan saya (yang dimintai maaf).
Banyak persoalan filsafat, dapat berupa kemampuan orang tua dengan menggunakan sesuatu yang berbeda dengan orang tua yang lain, seperti gaya atau penampilan yang seperti gaya anak muda. Persoalan filsafat dapat juga menyangkut masalah spiritual, semua persoalan filsafat itu mengalir dan membutuhkan energi. Seorang guru  atau dosen filsafat memiliki kesamaan dengan dalam dalam pewayangan. Seorang dalang  yang hebat tidak hanya sekedar tampil serta merta tanpa muatan-muatan tertentu missal memerlukan spiritual. Budaya wayang itu merupakan kolaborasi antara budaya hindu-islam, sehingga ritual yang digunakan sebelum melakukan aksi maka dalang melakukan ritual hindu-islam. Dalang dalam melakukan penampilannya, mereka harus melakukan ritual khusus seperti berpuasa, membakar kemenyan, semedi (bertapa) yang bertujuan agar aksi yang dilakukan tidak mendapati permasalahan/hambatan dan juga dapat menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat. Namun seorang guru atau dosen filsafat dalam mengajar filsafat memerlukan penghayatan hingga sampai pada spiritual. Jika telah sampai pada tingkat spiritual, maka tidak dapat mengklaim baik kebenaran maupun keadilan. Dan semuanya itu hanya ada disisinya. Maka seringkali pengajar filsafat, ketika berbicara spiritual maka dia mengajak diriya sendiri. Pengajar dalam melakukan pembelajaran yang dilakukan maka ritual yang dilakukan dengan berdoa di awal dan akhir pembelajaran. Belajar filsafat itu memiliki kajian yang berbeda-beda dan memiliki tingkatan yaitu berat, ringan dan mudah.
Kajian yang berupa berat yang berisi tentang theology (ketuhanan); etik dan estetika menyangkut arwah; tentang kebaikan dan keburukan; tentang cinta; ilmu bidang dan penerapannya sehari-hari; dan sex education. Pembelajaran sex education itu berbeda-beda pembelajarannya untuk masing-masing daerah, bagaimana kontekstualnya di jawa, papua dan daerah lain yang berisi topic tentang yang ada dan yang mungkin ada. Di Papua maka pembelajaran dilakukan dengan member penjelasan secara terpisah antara laki-laki dan perempuan serta di sekolah dengan menunjukkan gambar anatomi tubuh manusia. Budaya jawa itu menganggap sex education itu merupakan hal yang tabu dan tidak perlu untuk diungkapkan jika manusia itu tidak mengetahuinya. Hal terbukti dalam cerita rakyat jawa mengenai lagu-lagu atau cerita rakyat yang ternyata di dalamnya terdapat nuansa-nuansa sex education. Terlihat pada cerita rakyat jaka tingkir yang mampu mengalahkan buaya yang berjumlah 40. Serta pada keluarga yang dirasa sudah lama namun belum memiliki keturunan, sehingga orang tua mereka membawa mereka kepada orang pintar (sesepuh) untuk diberi wejangan berupa symbol dengan sebuah biji asam (klungsu) untuk dipecahkan tanpa menggunakan alat apapun, tangan maupun kaki hanya boleh untuk dipecahkan berdua saja. Itulah sex education yang diterapkan di budaya jawa. Sehingga dalam pembelajaran itu dibutuhkan kearifan yang digunakan dalam pengetahuan sex education agar tidak menyinggung budaya yang lain dan mengkomunikasikan tanpa memunculkan kefulgaran dalam berbicara atau yang lainnya. Karena dalam menyampaikan hal yang demikian tidaklah mudah seperti berbicara biasa, melainkan membutuhkan pengetahuan sebagai sarana pembelajaran akan pengetahuan yang akan dilakukan.

1.      Apakah orang tua zaman dahulu menggunakan intuisi dalam menjemput ajal mereka? Karena mereka terkadang mengetahui kapan akhir hidupnya?
2.      Apa yang menjadi perbedaan antara firasat seseorang dengan intuisi ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar