Selasa, 09 Oktober 2012

Sejarah Filsafat Yunani Kuno


A.  Sejarah filsafat
Secara etimologi kata filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata philo dan Sophia, philo berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan atau hikmah, jadi philosophia dapat diartikan cinta kepada kebijaksanaan atau cinta yang akan hikmah. Al-farabi seorang filsuf besar muslim yang juga dikenal sebagai penafsir karya aristoleles, mengatakan bahwa falsafah atau filsafat terambil dari bahasa yunani yang kemudian digunakan sebagai bahasa arab. Secara luas filsafat diartikan sebagai suatu proses berpikir mendalam tentang segala sesuatu baik yang nampak (fisika) atau yang tidak Nampak (metafisika) untuk menngkaji secara kritis, komprehensif, dan mendalam, sampai kepada substansi (hakekat segala sesuatu).
B.  Objek filsafat
Objek dalam filsafat dibagi menjadi dua yaitu objek material dan objek formal. Dimana objek material merupakan suatu objek yang dapat dipandang, disorot, dan diselidiki dalam khasanah filsafat. Sedangkan objek formal merupakan suatu objek yang dipandang berdasarkan sudut pandang (point of view) dengan pemikiran radikal dari segala sesuatu.
C.  Karakteristik pemikiran filsafat
Secara sadar, semua orang yang hidup senantiasa ditandai dengan sebuah kegiatan yang khas yaitu berpikir. Hal ini yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan yang lainnya. Namun setiap kegiatan berpikir manusia bukan disebut dengan kegiatan berfilsafat. Berpikir secara filsafat buka hanya merenung atau kontempelasi belaka yang tidak ada sangkut pautnya dengan realita, namun berpikir yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia yang bersifat actual dan hakiki. Adapun kegiatan berpikir secara filsafat memiliki cirri sebagai berikut :
1.      Berpikir kritis
Kegiatan berfikir kefilsafatan harus bersifat kritis yaitu mempertanyakan segala sesuatu, problema-problema, atau sesuatu hal yang sedang dihadapi oleh manusia.
2.      Bersifat terdalam
Berpikir kefilsafatan harus bersifat mendalam yaitu bukan hanya sampai pada fakta-faktanya yang bersifat khusus dan empiris belaka, melainkan sampai pada intinya yang terdalam yaitu substansinya yang bersifat universal. Berpikir sampai pada substansinya dengan kata lain berpikir secara radikal, yang berarti sampai pada akarnya sesuatu gejala yang hendak dipermasalahkan.
3.      Bersifat konseptual
Berpikir kefilsafatan harus bersifat konseptual yaitu menyusun suatu hasil generalisasi serta abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal yang sifatnya khusus dan individu. Pemikiran kefilsafatan tidak cukup disimpulkan pada beberapa bukti yang bersifat empiris, kuantitatif, dan terbatas, namun melampaui batas-batas pengalaman yang sifatnya empiris dan merupakan abstraksi serta generalisasi dari hal-hal yang sifatnya khusus, individu dan konkrit. Berpikir kefilsafatan bukan sekedar berpikir menerawang, namun juga berkaitan dengan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh manusia kemudian dengan generalisasi dan abstraksi maka sampai kepada kesimpulan yang bersifat konseptual.
4.      Koheren (runtut)
Berpikir kefilsafatan bukan suatu pemikiran acak, kacau, pragmatis, namun pemikiran kefilsafatan berusaha menyusun bagan yang konseptual dan koheren (runtut). Pemikiran koheren tidak terdapat pertentangan antar suatu hubungan dan juga harus konsisten.
5.      Bersifat rasional
Berpikir kefilsafatan harus menyusun bagan konseptual yang bersifat rasional, yaitu bagan yang bagian-bagian saling berhubungan secara logis antara satu dengan yang lainnya.
6.      Bersifat menyeluruh
Suatu pemikiran kefilsafatan berusaha menyusun bagan yang konseptual, rasional, logis dan bersifat menyeluruh. Hal ini menyatakan bahwa pemikiran kefilsafatan bukan hanya berdasar suatu fakta yang khusus dan individu, melainkan harus sampai pada kesimpulan yang sifatnya paling umum, sehingga pemikiran kefilsafatan berpikir tidak ada sesuatu yang ada diluar jangkauannya.
7.      Bersifat spekulatif (perekaan)
Perekaan yaitu pengajuan dugaan-dugaan yang masuk akal (rasional) yang melampaui batas-batas fakta. Perekaan merupakan suatu kegiatan akal budi manusia dengan melampaui kemampuannya dalam berimajinasi yang disiplin menghadapi persoalan-persoalan filsafat yang menuntut pemecahan yang bijaksana.
8.      Bersifat mendasar
Pada hal ini, manusia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar, karena apa yang disebut dengan benar dan apa criteria benar.

D.  Filsafat Zaman Pra Socrates
1.        Parmenides (Asas Tetap) (540 – 475 SM)
Parmenides dilahirkan di kota Elea kira-kira tahun 540 SM. Parmenides merupakan seorang filosof yang tegolong pada aliran Elea, yaitu menentang konsep tuhan/dewa yang antromorphis (disamakan dengan manusia). Ia merupakan murid dari Xenophanes, pengaruh gurunya hanyalah di dalam penggunaan puisi di dalam menyampaikan filsafatnya. Parmenides memiliki banyak pengaruh di bidang ontologi dan epistemologi, terutama berkenaan masalah satu atau banyak, yang tetap atau berubah, absolut dan relatif. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu satu adanya, perubahan itu tidak ada. Ajaran terpenting Parmenides adalah idea atau gagasan tentang “ada”. Menurut Parmenides, bahwa “yang ada, itu ada”. Ini merupakan kebenaran yang tidak dapat dipungkiri. Mengenai “yang ada” orang dapat melakukan dua pengandaian, yaitu bahwa “yang ada” itu tidak ada, atau “yang ada” itu sekaligus ada dan tidak ada. Pemikiran Parmenides adalah suatu pandangan yang jenius. Pikirannya dituntaskan secara konsekuen, baginya kenyataan merupakan suatu kesatuan, tanpa perbedaan antara segi jasmani dan rohani.
a.       Pertama-tama, "yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan "yang ada".
b.      Kedua, "yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka "yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada" dapat menjadi ada.
c.       Ketiga, harus dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama. Menurut Parmenides, "yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.
d.      Keempat, karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong. Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar "yang ada" masih ada sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.

Pemikiran Parmenides adalah penemu metafisika, cabang filsafat yang menyelidiki "yang ada". Filsafat di masa selanjutnya akan bergumul dengan masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau rasio dicocokkan dengan data-data inderawi. Plato dan Aristoteles adalah filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.

2.        Heracleitos (Asas Perubahan) (540 – 475 SM)
Heracleitos adalah seorang filosof yang tergolong dalam aliran ionia (asia minor). Heracleitos dilahirkan di kota Ephesos, ionia, sekitar tahun 540 SM. Nama Heracleitos paling terkenal dalam sejarah karena pendangannya yang memicu tentang debat ontological, epistomologikal, dan deantologikal yaitu perdebatan tentang one-many (satu-banyak), permanent-change (tetap atau berubah). Heracleitos dipandang sebagai penganut aliran no-permanency (tidak ada yang permanen), menurutnya semua adalah perubahan (Panta Rhei) yang nantinya akan berkaitan dengan relativitas dan skeptisisme. Akan tetapi Heracleitos berbicara tentang logos sebagai suatu prinsip kekuatan (principle of unity). Menurut Heracleitos, alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas menjadi dingin. Hal ini berarti jika kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Kosmos tidak pernah dalam keadaan berhenti (diam); ia selalu bergerak dan bergerak berarti berubah.
Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Heracleitos dengan dua cara:
a.       Pertama, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Heracleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
b.      Kedua, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama," demikian kata Heracleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.

Api dipandang sejenis dengan roh, sebab asas hidup adalah api. Itulah sebabnya api disebut dengan logos (akal, firman, hati), yaitu hukum yang menguasai segala sesuatu, sekaligus menguasai manusia. Segala sesuatu terjadi sesuai logos, orang juga harus hidup sesuai dengan logos. Di dalam logos, segala sesuatu adalah satu. Dari segala sesuatu lahirlah satu, sedangkan yang satu lahirlah segala sesuatu. Jadi segala pertentangan adalah pangkal sesuatu, sehingga segala hal yang bertentangan itu satu, terciptalah perbedaan-perbedaan dan tumbuhlah keselarasan yang paling indah.

E.  Filsafat Zaman Socrates
1.        Socrates (470 – 399 SM)
Socrates dilahirkan di Athena pada tahun 470 SM. Socrates adalah murid dari Anaxagoras. Socrates merupakan orang yang telah berjasa meletakkan dasar dan membangun filsafat pengetahuan (epistemologi). Tujuan Socrates adalah untuk meletakkan kaidah-kaidah pengetahuan di atas dasar rasio dan menguatkan dasar keutamaan pada hati orang banyak yang berlandaskan kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ketika Socrates bertentangan dengan kaum sofis menggunakan metode ironi yang memiliki segi positif yaitu dalam usahanya untuk megupas kebenaran “pengetahuan semu” orang-orang itu.
Pertanyaan yang diajukan Socrates merupakan cara khusus untuk membuat orang berpikir, kemudian menjelaskan sesuatu kebenaran menurut pemikirannya. Metode berpikir Socrates disebut metode induksi, menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum yang berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus. Dengan hal ini pada akhirnya ditemukan definisi umum.

2.      Plato (427 – 347 SM)
Plato lahir di Athena. Plato adalah pendiri sekolah yang disebut akademi (diskusi yang dilakukan di serambi rumah). Plato sejak berumur 20 tahun mengikuti pelajaran Socrates. Dalam kebanggaannya sebagai murid Socrates, setiap karangannya yang berbentuk dialog, tanya jawab, gurunya ditempatkan sebagai pujangga yang menuntunnya. Plato adalah Filsuf besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang memiliki aliran idealis. Buku karyanya adalah apologia, georgias, meno, symposion, politeia, sophistes, timaios, republic, hukum tahap dan sebagainya. Karyanya masih dibagi 5 kelompok, yaitu karya ketika masih muda, karya pada tahap peralihan, karya yang mengenai idea-idea, karya pada tahap kritis, dan karya pada masa tuanya. Sebagai seorang filsuf, Plato berusaha menyelesaikan persoalan lama tentang perbedaan antara pendapat Heracleitos yang menganggap bahwa sesuatu itu berubah-ubah tidak ada yang tetap dengan pendapat Parmenides yang menganggap bahwa sesuatu itu adalah tetap tidak berubah-ubah. Bahwa di dunia ini ada pengetahuan indera yang dapat diketahui melalui pengalaman dan ada pula pengetahuan melalui budi. Yang berubah itu disebut dengan pengalaman, adapun yang tetap dikenal dengan budi. Mengingat ada dua pengetahuan yang tetap dan yang bermacam-macam itu, maka dikatakan manusia itu termasuk dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman dan dunia yang tetap yang disebut dunia idea, di dalamnya adalah idea yang sifatnya satu macam yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Idea itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada (realitas). Plato mengemukakan ajarannya mengenai idea absolute sebagai sumber dari segala pengetahuan yang ada, ini terjadi melalui proses mengingat. Menurut Plato, idea absolute sama dengan idea tertinggi. Sehingga Plato disebut sebagai aliran idealis dan tidak realis.
Menurut Plato, dunia pengalaman ini merupakan bayang-bayang dari dunia idea. Idea bersifat langgeng, permanen, abadi, diam, sempurna dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Oleh karena manusia di dunia ini berasal dari dunia idea, maka dari tujuannya di dunia ini tidak terus-menerus berada di dunia bayang-bayang saja, melainkan harus ia kembali ke asal mulanya untuk selama-lamanya memandangi idea-idea itu dengan idea tertinggi atau idea kebaikan.

3.      Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles lahir di Stageira, Yunani Utara. Ketika umur 18 tahun dikirim ke Athena untuk belajar ke Plato pada sekolah Akademi. Pada akhirnya Aristoteles mendirikan sekolah yang diberi nama Peripatacici bermakna berjalan-jalan. Sistem pengajaran yang diberikan sambil jalan-jalan di taman. Aristoteles disebut dengan aliran realis, karena mendasarkan pemikirannya pada pengalaman kemudian memberikan uraian mendasar mengenai data-data pengalaman. Karya aristoteles dapat dibagi atas 8 bagian, mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi, retorika, dan poetika. Ia juga mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal ini disebutnya dengan nama analytika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang benar, dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal-hal yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu tentang penalaran (Logika) itu ditulis dalam 6 (enam) naskah yang masing-masingnya berjudul; Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical Refitations. Logika sebagai ajaran tentang berpikir secara ilmiah, yang membicarakan tentang bentuk-bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum yang menguasai pikiran. Jalan pikiran itu disebut syllogismus (sillogisme), yaitu putusan dua yang tersusun demikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk menggunakan sillogisme, harus diketahui benar-benar sifat putusan, tiap putusan terdiri dari pengertian. Ketika pengertian satu dihubungkan dengan pengertian lain, muncullah putusan. Jika terdapat persesuaian antara pengertian-pengertian yang merupakan subjek dan predikat dalam putusan itu, maka putusan itu positif dan jika tidak terjadi persesuaian, maka putusan itu negatif. Untuk itu perlu diselidiki pengertiannya, menurut Aristoteles ada beberapa macam pengertian antara lain : kuantitas, kualitas, hubungan (relasi), waktu, lingkungan, keadaan, tempat, aktif, dan pasif. Dalam filsafat Plato yang menjadi pangkal dan yang sungguh-sungguh ada adalah dunia ide yang bersifat umum, sedangkan menurut Aristoteles yang sungguh-sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan yang khusus, satu persatu.
Selanjutnya Aristoteles menjelaskan unsur dasar bermacam-macam itu yang disebut Hyle (materi), sedang unsur kesatuan disebut morphe (bentuk). Tiap benda yang konkrit itu terdiri dari hyle dan morphe, jadi hyle dan morphe merupakan satu kesatuan, tidak ada hyle tanpa morphe. Hubungan hyle dan morphe sebagai hubungan kedua unsur yang merupakan kesatuan itu sebagai potensi dan aktus; dinamis dan energia. Dalam hal konkrit hyle merupakan potensi dan morphe merupakan aktus. Hyle dapat mengalami perubahan, dimana perubahan itu merupakan peralihan potensi ke aktus selama dia potensi. Aristoteles membagi pengetahuan menjadi dua macam, yaitu pengetahuan indera dan pengetahuan budi. Pengetahuan indera mencapai yang konkrit dan pengetahuan budi mencapai inti yang bersifat umum. Objek yang diketahui bersifat konkrit dapat ditangkap oleh indera, pengetahuan indera yang satu persatu, bermacam-macam dan tidak sama, yang beraneka ragam tidak dihiraukan, yang cukup dipandang yang sama saja dalam bermacam-macam itu. Pengetahuan yang satu dalam macamnya, umum dan tetap dinamakan sebagai idea atau pengertian. Semua hal yang memiliki sifat-sifat sama yang terdapat pada hal-hal konkrit, maka mutlaklah ia, tetap dan tidak berubah
Pernyataan tersebut sekaligus sebagai penyelesaian pertentangan antara filsafat Parmenides dan Heracleitos; antara “ada” dan “menjadi”.

F.   Filsafat Zaman Modern
1.      Zaman Resainance
a.      Nicolas Copernicus (1473 – 1543)
"Nicolaus Copernicus (lahir 19 Februari 1473 - meninggal 24 Mei 1543) adalah seorang astronom Polandia asal Jerman, yang dikenang untuk menyediakan formulasi modern pertama teori heliosentris (Sun-centered) dari tata surya di De Revolutionobus Orbium Coelestium. Copernicus bekerja sebagai kanon gereja, gubernur, administrator, matematikawan, ekonom, ahli hukum, dokter dan astrolog tengah semua tanggung jawabnya, ia memperlakukan astronomi sebagai hobi”.
1)   Dia bukan ahli matematika dalam arti keahlian Kepler. Dia hanya menggunakan angka Ptolemy tetapi berubah poin fokus.
2)   Dia melekat aturan atau prinsip gerak melingkar seragam dan menganggap hal itu sebagai dasar dari mekanika langit.
3)   Gerak melingkar disebabkan oleh benda melingkar, ia berpikir? Badan berputar karena mereka bulat. Aristoteles berpikir begitu juga, tapi Aristoteles tetap yakin bahwa salah satu membutuhkan pusat fisik untuk mencapai hasil ini.
4)   Aristoteles percaya kecepatan setiap planet adalah konstan dengan setiap planet tetapi jarak diperhitungkan dalam periode revolusi lambat mengelilingi bumi. "Aristoteles menyatakan hal ini di De Coelo, Lib II, topi 10, dan Ptolemy setuju". Copernicus dalam perjanjian sempurna dengan sistem ini mengatakan Kelper, bagaimanapun, menanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit yang lain tidak ingin menghadapi, atau fakta mereka tidak berpikir untuk bertanya. Oleh karena itu konsep astronomi diperlukan berubah. "... Sama (orbital) kecepatan, tidak setuju dengan fakta-fakta." "Periode revolusi tidak berbanding lurus dengan jarak".
5)   "Copernicus mengatakan, jalan-tengah antara kinematika dan dinamika murni, dan itulah sebabnya (Ptolemy) ia tidak perlu untuk menempatkan sesuatu apapun di pusat benda langit nya atau bola, bahkan tidak matahari".

"... Copernicus menempatkan Matahari di pusat alam semesta, ia tidak menempatkannya di tengah-tengah gerakan langit : tidak pusat bola bumi atau bahwa lingkup planet ditempatkan di matahari, tetapi hanya dekat itu, dan gerakan planet disebut tidak matahari, tapi pusat bola bumi-eksentrik. Sehubungan dengan matahari pusat lingkup terestrial tentu berkisar, matahari itu ditempatkan pada epicycle kecil yang deferent sebagai sun untuk pusat, namun gerakannya sangat lambat-yang epicycles membuat satu revolusi dalam tahun 3434 dan relatif kecil dalam 53.000 tahun, bahwa untuk tujuan praktis, tidak masuk ke dalam perhitungan sebagai hasilnya kita miliki.
"Copernicus kosmologi menempatkan matahari bergerak tidak di pusat alam semesta, tapi dekat ke pusat, dan juga terlibat memberikan gerakan yang berbeda beberapa Bumi. Masalah yang Copernicus dihadapi adalah bahwa ia menganggap semua gerak adalah melingkar sehingga, seperti Ptolemy, dipaksa menggunakan epicycles. Itu akibatnya dianggap tidak masuk akal oleh kebanyakan orang se-zamannya, dan oleh para astronom dan filsuf yang paling alami sampai pertengahan abad ketujuh belas. Dalam Pendahuluan dimaksudkan De Revolutionibus Orbium Coelestium Copernicus menunjukkan bahwa sepenuhnya menyadari kritik bahwa menjadikan karyanya akan menarik.

2.      Zaman Aufklarung (Zaman Pencerahan)
a.      Rene Descartes (1596 – 1650) (Rasionalisme)
Rene Desrates lahir di La Haye, Perancis tahun 1596 dan meninggal 1650. Rene Descrates dianggap sebagai bapak filsafat modern. Descrates menyusun sebuah argumentasi yaitu Cogito orgo sum. Descrates memulai filsafat dari metode, metode keraguan digunakan untuk menuju kepastian. Dalam metode tersebut, berjalan satu deduksi yang tegas, karena telah menemukan idea yang distinct. Seluruh proses penyimpulan terlepas dari data empiris, dan keseluruhannya merupakan proses rasional. Sehingga dalam filsafatnya didasarkan pada akal sebagai basis terpercaya.

b.      D. Hume (1711 – 1776) (Empirisme)
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada 26 April 1711. D. Hume seorang penganut empirisme yang konsisten. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi pada hukum. Selama tiga tahun studi hukum membangun pandangan filsafatnya. Pada musim gugur 1729, dia mengalami gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun karena dia mengalami perasaan puas pertama kali dia membantai raksasa segala ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi padahal umurnya masih relatif muda. Karena kejadian ini dia memutuskan mundur dari dunia filsafat, akan tetapi kemudian justru dia mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis Pada usia 23 tahun, ke La Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates dulu untuk upaya penyembuhan dari penyakitnya. Di sana dia menyelesaikan buku pertamanya yaang hampir selesai pada tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26. Hume memiliki harapan yang tinggi pada karyanya, tetapi penerbitannya tidak banyak mendapat perhatian. Meskipun patah semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Dalam karyanya yang terbesar memperkenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju subjek-subjek moral dengan mengupas panjang lebar mengenai emosi manusia dan prinsip-prinsip moral. Secara garis besar filsafat hume merupakan reaksi yang kontradiktif terhadap tiga prinsip dasar, yaitu melawan ideinnatea yang dipakai sebagai landasan ontologism bagi kaum rasionalis dalam memahami dunia sebagai satu kesatuan dunia interelasi; tentang masalah teologi khususnya mengenai paham deisme; melawan empirisme khususnya empirisme locke dan Berkeley. Hanya ada satu metode yang tepat, yaitu metode eksperimental seperti yang telah sukses dalam ilmu-ilmu alam. Hume berpendapat bahwa keseluruhan isi dari pikiran berasal dari pengalaman dan membagi dalam dua persepsi, yaitu antara “kesan” dan “ide”.

c.       Immanuel Kant (1724 – 1804) (Kantianisme)
Immanuel Kant lahir di Königsberg, Prusia Timur pada tahun 1724. Immanuel Kant berhasil menghentikan sufisme modern untuk menundukkan akan dan iman pada kedudukan masing-masing. Immanuel Kant mencoba merumuskan kebenaran ilmu pengetahuan melalui dua paham yang bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Beliau berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil kerjasama dua unsur, yaitu pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman inderawi adalah unsur a posteriori (yang akan datang) dan akal budi merupakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu). Kedua aliran ini hanya mengakui salah satu unsur sebagai sumber pengetahuan, sehingga menjadi tidak seimbang. Ketisakseimbangan ini diselesaikan melalui tiga macam kebenaran, yaitu kebenaran akal budi (verstand), kebenaran rasio (vernunft), dan kebenaran inderawi. Kemudian dari akal budi dibedakan menjadi akal budi teoritis (membentuk pengetahuan intelek) dan akal budi praktis (pengetahuan tentang perilaku moral, dan sumber perasaan serta intuisi religius). Kant mencoba menempatkan moral sebagai problem utama dalam filsafat. Bila sains dan akal tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama, maka jalan selanjutnya adalah moral. Hal ini tertuang dalam karyanya yang berjudul “kritik der praktischen vernunft” tentang moral adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu prinsip yang a priori, suatu realitas yang amat mengherankan dalam diri manusia, perasaan yang tidak dapat dibedakan penentu benar dan salah. Kata hati adalah categorical imperative (perintah tanpa syarat yang ada di dalam kesadaran kita, yang pada akhirnya moral yang kita miliki sifatnya menjadi absolute).

d.      Auguste Comte (1798 – 1857)
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798. Auguste Comte merupakan pelopor utama Positivisme, seorang filsuf perancis yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan sains dan teknologi modern. Positivism merupakan bentuk baru dari aliran realisme dan empirisme, yang menjelaskan bahwa kehidupan dunia luar persis seperti tergambar dalam pemikiran. Tahap positif, ilmulah yang menentukan segala kebenaran dengan metode experiment dan observasi. Menurut Comte, manusia berkembang dalam tiga tahap (the law of three stages), yaitu tahap teologi, tahap metafisika, dan tahap positif.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan ajaran dialektika yang memandang perkembangan sebagai sesuatu gerak linear dan "tertutup". Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun cenderung dilepaskan secara total dari keseluruhan realitas kemanusiaan yang merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk memenggal-menggal dan mengambil sebagian saja dari realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi obyek atau dasar ontologis dalam mengembangkan ilmunya. Ontologi materialistik ini telah melahirkan pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta mencetakkan orientasi kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Comte, sejalan dengan hukum perkembangan dimaksud, menciptakan penggolongan pengetahuan dan ilmu. Ia menggambarkan bagaimana ilmu dan pengetahuan itu berkembang atas dasar gejala-gejala yang dihadapi baik pada tingkat yang sederhana sampai yang paling kompleks. Hal itu dilakukan atas dasar sejarah perkembangan ilmu yang dipahaminya. Akhirnya, tersusunlah enam jenis ilmu pengetahuan dasar dengan menempatkan fisika sosial atau sosiologi dengan statistikanya sebagai ilmu yang paling tinggi.
Auguste Comte, mengembangkan metode keilmuannya yang khas dengan memadukan dalamnya unsur observasi, eksperimentasi, dan metode sejarah. Ia dalam hal ini, telah berhasil membangun suatu paham keilmuan baru yang memadukan “Rasionalisme” a l a Descartes dengan “Empirisme” Francis Bacon. Hal ini sejalan dengan maksud pokok Auguste Comte, yaitu bahwa ilmu harus selalu dikaitkan dengan pendiriannya dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis. Akibatnya, makna keilmuan selalu bersifat "pragmatis” dan menjadi suatu pilihan sebagai alat (instrumen). Comte berusaha mengkategorikan ilmu dalam enam kategori kegunaan yang sifatnya praktis, yaitu:
1)      Comte menempatkan ilmu pasti (matematika) sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan. Comte dengan begitu yakin menyatakan bahwa hanya ilmu pastilah yang merupakan satu-satunya ilmu yang mempunyai kedudukan obyektif. Hal ini disebabkan ilmu pasti memiliki sifat yang tetap, terbatas pada akal, dan pasti melalui apa yang dilakukan dalam penyajian "kalkulus"-nya. Menurutnya, melalui metode-metode ilmu pasti, orang akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu ilmu pengetahuan dalam tingkatnya yang "tepat dan sederhana" namun obyektif (terukur secara pasti).
2)      Ilmu perbintangan (astronomi) yang berfungsi menyusun hukum-hukum ilmu pasti tersebut di atas dalam hubungan dengan gejala benda-benda langit. Semua itu berhubungan dengan cara-cara menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda-benda langit seperti bintang, bumi, bulan, atau planet-planet lain yang semuanya berhubungan dengan observasi langsung si subyek.
3)      Ilmu alam (fisika). Menurutnya, melalui observasi dan eksperimen, ilmu-ilmu fisika atau ilmu alam menunjukkan hubungan-hubungan yang mengatur sifat umum benda yang dikaitkan dengan masa. Hubungan-hubungan tersebut berada dalam keadaan yang memungkinkan molekulnya tidak berobah sebagai suatu himpunan. Selanjutnya, Comte juga berusaha dengan hukum ilmu fisika ini untuk meramalkan secara tepat semua gejala yang dapat ditunjukkan oleh suatu benda yang dalam keadaan tertentu. Kegunaan paktis ilmu alam atau fisika ini, karena sifat keteramalannya atas realitas obyeknya yang bersifat tetap dan tidak berubah atau bergonta-ganti.
4)      Ilmu kimia (chemistry) yang berfungsi untuk membuktikan adanya keterkaitan yang luas di antara ilmu-ilmu seperi dalam ilmu hayat (biologi) dan bahkan dengan sosiologi. Hubungan ini tentu lebih luas dari ilmu alam. Metode yang digunakan dalam bidang ini adalah observasi dan ekperimentasi.
5)      Ilmu hayat (fisiologi atau biologi). Jelasnya, pada tingkat ini, ilmu telah berhadapan secara langsung dengan gejala-gejala kehidupan sebagai unsur yang lebih kompleks. Umumnya, perkembangan ilmu pada tahap ini disertai dengan adanya perubahan, karena belum mencapai tahap yang tetap sebagai ilmu positif.
6)      Ilmu tertinggi dalam ilmu positif yaitu ilmu fisika sosial (sosiologi). Fisika sosial berfungsi untuk menghadapkan ilmu pada hakikat kehidupan yang lebih kompleks, lebih konkrit, dan lebih khusus dalam ikatan dengan suatu kelompok manusia. Menurut Comte, fisika sosial atau sosiologi merupakan suatu bidang yang meliputi segi-segi yang statis maupun dinamis mengenai masyarakat. Justru itulah, Comte menunjukkan bahwa metode yang terbaik untuk ini adalah observasi. Alasannya, setiap pengetahuan selalu meminta kesaksian dan pembuktian yang jelas dan langsung. Berdasarkan penggolongan di atas, Comte hendak menegaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak akan menuju ke alam teori murni tetapi pragmatis dalam arti positif, yaitu: nyata, bermanfaat, pasti, tepat, dan teramati. Windelband, di kemudian hari mengikuti pola pembagian ilmu dimaksud dengan menunjukkan adanya dua golongan ilmu, yaitu; ilmu-ilmu alam sebagai nomotetik dan ilmu-ilmu kebudayaan sebagai idiografik. Windelband, untuk itu, mendukung pandangan bahwa ada dua tipe dasariah ilmu dengan suatu perbedaan jenis yang nyata di antara keduanya.

Kultur keilmuan positif yang dikembangkan Auguste Comte, mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan modern. Nampaknya, solah-olah terdapat semacam jaminan bahwa "hanya ilmu positif (sains)-lah yang pasti dan benar satu-satunya". Ilmu positif telah dibuat menjadi pemegang kedaulatan mutlak atas kepastian dan kebenaran. Positivisme awal yang menekankan pada segi-segi rasional-ilmiah, baik pada tataran epistemologi maupun ontologi, akhirnya, direduksikan pada ilmu positif yang dianggap mampu menerangkan kenyataan secara lengkap dan sempurna. Reduksi dimaksud tidak hanya dalam ide atau pemikiran, tetapi menembus sampai ke dalam inti kehidupan manusia dan alam secara total.
Auguste Comte, telah mereduksikan bukan hanya ilmu, tetapi justru epistemologi itu sendiri ke dalam tuntutan-tuntutan “Positivisme”-nya yang memiliki egoime sektoral di dalam ilmu-ilmu. Paham Positivisme keilmuan hanya mau dan mampu melihat manusia sebagai realitas bendawi, tanpa mampu menjangkau segi-segi subyektivitas manusia dalam seluruh lingkup pengalaman, kedudukan, atau penyikapannya yang luas, utuh, dan menyeluruh. Pandangan Positivisme Comte yang begitu kuat terhadap masalah-masalah sosial, membentuk pandangan epistemologi yang bercorak pragmatis. Akibatnya, epistemologi Positivisme ini hampir tidak mampu lagi untuk menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte lupa bahwa segi-segi sosio-historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk melahirkan pandangan, gagasan, serta cara berpikir, dan aspirasi-aspirasi baru yang dinamis. Semua itu bersifat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengetahuan dan kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai kemungkinan yang serba baru dan berubah-ubah.
Comte justru telah menyingkirkan realitas sosio-historis, dan bahkan realitas sosiologis itu sendiri di dalam teorinya. Comte lupa bahwa sebenarnya sosiologi yang dicita-citakannya tidak memiliki hubungan dengan apa-apa, baik dengan tradisi ontologi maupun ilmu-ilmu alam. Comte lupa bahwa Sosiologi adalah bidang ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang menyelidiki bidang intersubyektif yang berubah-ubah. Sosiologi, karenanya, harus berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Perhatian Sosiologi bukan pada fakta mati melainkan pendapat orang atas interaksi mereka. Hal yang mau dicapai dalam setiap interaksi adalah pemahaman timbal-balik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar